Sejarah Kwitang

Al-Habib Ali Alhabsyi adalah putera dari Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi. Ayah beliau tinggal di Jakarta. Ibunda beliau yaitu Nyai Salmah berasal dari Jatinegara, Jakarta Timur. Dalam perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi lama sekali tidak memperoleh seorang putera pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya. Mendengar mimpi istrinya, Al-Habib Abdurrahman segera menemui Al-Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Al-Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah istri Al-Habib Abdurrahman akan mendapatkan seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya.

Apa yang dikemukakan oleh Al-Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil 'Awal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman Alhabsyi.

Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke rahmatullah ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut.

Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali Alhabsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali Alhabsyi dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat yang dituju.

Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai seorang anak yang sholeh, tidak mensia-siakan masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk mengirimkan uang kepada beliau selama menuntut ilmu di luar negeri tersebut.

Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut dalam mencari rizki yang halal untuk bekal menuntut ilmu ialah mengambil upah menggembala kambing. Pekerjaan menggembala kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya'. begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-orang besar yang akan diberikan tugas memimpin umat ini.

Di antara guru-guru beliau yang banyak memberikan pelajaran dan mendidik beliau selama di Hadramaut ialah Al-'Arif billah Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, dan juga Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-'Attos serta yang lain daripada ulama-ulama pada saat itu.

Setelah belajar di Hadramaut, beliau melanjutkan pelajaran di tanah suci Makkah, dibawah didikan ulama-ulama besar disana, diantaranya Mafti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin Alhabsyi, Sayid Bakri Sa'ta, As-Syeikh Muhammad Said Babsail, As-Syeikh Umar Hamdan dan lain-lain.

Berkat doa ibu dan ayah beliau, juga berkat doa para datuk-datuk beliau, terutama datuk beliau RAsullulloh SAW, dalam masa 6,5 tahun belajar di luar negeri Al-Habib Ali telah memperoleh ilmu Islam yang murni, luas dan mendalam yang dibawanya kembali ke Indonesia.
 
http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Habib_ali_kwitang.jpg 
-------------------------------------------------------------------------------------------------
 
 JAKARTA – Betawi terkenal dengan gudangnya pendekar-pendekar silat yang tersohor. Legenda si Pitung jago silat dari Marunda tetap melekat di hati masyarakat Betawi sepanjang masa. Sejarah persilatan di Betawi pun mencatat, nama perkampungan Kwitang berasal dari seorang pedagang Tiongkok, Kwe Tang Kiam yang terkenal karena ilmu silatnya yang ampuh.
Kisah ini diawali pada abad 17 ketika seorang pengembara dari dataran Tiongkok, Kwe Tang Kiam menjejakkan kakinya di tanah Betawi. Konon, Kwe Tang Kiam telah mengembara ke hampir seluruh pelosok daerah Indonesia. Di salah satu kampung di Betawi pengembara yang juga pedagang obat-obatan tersebut menetap. Selain jago dalam meracik obat-obatan, ia juga ahli dalam berolah silat. Di daerah tempat ia menetap, Kwe Tang Kiam menurunkan ilmu silatnya kepada orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
Kehebatan ilmu silat Kwe Tang Kiam diakui masyarakat Betawi saat itu. Silat yang diajarkannya menggunakan jurus-jurus ampuh mirip aliran Shaolin yang memadukan unsur tenaga, kekuatan fisik dan kecepatan. Hal ini sangat berbeda dengan aliran silat Betawi yang lebih menonjolkan ilmu kebatinan.
Walau demikian Kwe Tang Kiam mengakui kehebatan ilmu kebatinan silat Betawi setelah mencoba keampuhan ilmu salah seorang jawara Betawi bernama Bil Ali.Terbukti, ilmu kanuragan beraliran putih yang dimiliki Bil Ali berhasil menundukkan Kwe Tang Kiam. Hingga akhir hayatnya Kwe Tang Kiam menetap di kampung ini dan dengan kesadaran sendiri ia kemudian memeluk agama Islam. Kampung tempat ia menetap pun kemudian menjadi desa kampung Kwitang, yang masuk dalam wilayah Jakarta Pusat.
Hanya untuk Keluarga
Salah satu murid dari Kwe Tang Kim adalah leluhur keluarga H. Moch Zaelani yang kemudian menjadi pewaris ilmu silat ini di daerah Kwitang. Ia pun kemudian mengajarkan ilmu silat yang ini kepada keluarganya sendiri, yakni, H Moch. Zakaria. Namun karena minat orang-orang Betawi untuk mempelajari ilmu silat ini begitu besar, maka ia pun memberi kesempatan kepada mereka untuk turut mempelajarinya.
Zaelani mendirikan perguruan pencak silat aliran Kwitang 27 September 1948 bertepatan dengan diselenggarakannya Pekan Olahraga Nasional PON I di Solo. Ketika berlangsung PON I itulah Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) diresmikan. Waktu itu, Ketua IPSI yang pertama , Mr Wongso Negoro, mengundang para pesilat dari Kwitang untuk mendemonstrasikan kebolehannya pada pembukaan pekan olahraga tersebut.
Empat tahun kemudian, tepatnya 27 Septemebr 1952 saat dilangsungkannya PON II di Jakarta, Zaelani secara resmi mendirikan Perguruan Silat Kwitang dengan nama ”PS Mustika Kwitang”.
Perguruan ini kemudian diwariskan kepada cucunya H. Moch Zakaria Abdulrachim. Pada PON II, Zakaria tampil sebagai atlet . Ketika itu pencak silat resmi menjadi salahsatu cabang yang dipertandingkan. Pada nomor seni yang dipertandingkan. Zakaria keluar sebagai juara.
Dalam PON berikutnya, Zakaria selalu menjadi momok bagi lawannya. Bersama pesilat Mustika Kwitang lainnya ia merajai berbagai kejuaraan, seperti PON ke-III 1953 di Medan, PON ke-IV tahun 1957 di Makassar, dan PON ke- V tahun 1961 di Bandung. Ia berturut-turut tampil sebagai juara.
”Kondisinya pada waktu itu tidak seperti sekarang ini, sarana dan prasarana masih sangat terbatas. Tak jarang untuk mengikuti even pencak silat di Jakarta kami harus jalan kaki. Begitu juga ketika mengikuti PON kami naik kapal laut dan ditempatkan di sekolah-sekolah yang berada di dekat arena pertandingan. Lain dengan atlet sekarang yang diberikan fasilitas yang cukup mewah,” kenang Zakaria, yang lahir di Kwitang 22 Juni 1931 ini.
Sebagai pendekar silat, Zakaria juga merupakan salah seorang pendiri Persatuan Silat Putra Betawi yang beranggotakan 46 cabang perguruan silat di Jakarta.
Setelah PON ke-V tahun 1961 di Bandung, Zakaria mengundurkan diri sebagai atlet. Ia lebih memfokuskan perhatiannya pada perguruan yang dipimpinnya. Sejak itu PS Mustika Kwitang secara resmi terbuka untuk masyarakat umum.
Nyaris Punah
Melalui ketekunan Zakaria, PS Mustika Kwitang kian harum dengan jumlah murid mencapai ribuan pesilat yang tersebar di Jakarta, bahkan sampai Jawa Barat, Jawa Tengah hingga ke Sumatera Utara. Pada masa kejayaannya, PS Mustika Kwitang melahirkan pesilat-pesilat andal seperti Diantoro Nur, Ganda, Ishak, Lubena, Yuyu dan Latifah (pesilat putri).
Ia mengungkapkan rahasia suksesnya dalam membina anak didiknya berasal dari motivasi yang besar untuk menekuni olahraga warisan nenek moyang ini. Selain itu ia pun menganjurkan kepada murid-muridnya untuk tidak terlalu fanatik dengan perguruan. Mereka boleh mengadaptasi ilmu silat di luar perguruan untuk memperkaya ilmu silat yang mereka miliki.
”Modal utama yang harus dimiliki oleh atlet Mustika Kwitang adalah kepercayaan diri yang besar,” ungkap Zakaria. Pada tahun 80-an, Zakaria mengundurkan diri dan mewariskan ilmunya mewariskannya kepada anak-anaknya. Tapi sayang, keberhasilannya dalam membina perguruan silat tidak diikuti oleh pewarisnya itu. Perkembangan perguruan yang sudah nama di dunia persilatan ini kian terpuruk bahkan nyaris punah.
Murid-murid perguruan ini satu per satu mulai berkurang dari ribuan orang hanya tinggal beberapa gelintir pesilat saja yang masih eksis dalam mengembangkan seni pencak silat ini. Akibatnya, PS Mutstika Kwitang sulit bersaing dengan perguruan silat lain, termasuk beladiri dari luar.
Zakaria mengakui, perguruan yang dipimpinnya itu tidak memiliki pendukung serta sponsor. Selain itu, PS Mustika Kwitang hanya sedikit memiliki kader pelatih dan sistem pembinaannya tidak efisien. Di perguruan ini, tidak dikenal tingkatan yang jelas dan baku untuk menilai kemampuan murid-muridnya. Penentuan tingkatan hingga penunjukan kader pelatih masih ditentukan guru besar.
”Saya sangat prihatin dengan kondisi ini. PS Mustika Kwitang sebagai pendiri aliran silat di daerah Kwitang nyaris tenggelam. Saya tergugah untuk kembali membinanya, ” kata Zakaria. (str/eko yulianto)
http://silatindonesia.com/2008/12/silat-kwitang-warisan-sejarah-yang-hampir-punah/
-------------------------------------------------------------------------------------------------
 
Finroll.com – Bagi Anda yang akrab dengan dunia baca-tulis, pasti mendengar kata Kwitang yang terbayang adalah ribuan buku dalam toko buku bekas yang berjejer dari perempatan Senen hingga ke arah Tugu Tani. Daerah ini sudah kesohor sejak lama sebelum film “Ada Apa Dengan Cinta” menyisipkan satu scene Kwitang saat Rangga mencari buku Aku karya Chairil Anwar.
Kisah kampung tua ini diawali pada Abad 17 ketika seorang pengembara dari dataran Tiongkok, Kwe Tang Kiam menjejakkan kakinya di tanah Betawi. Konon, Kwe Tang Kiam telah mengembara ke hampir seluruh pelosok daerah Indonesia. Di salah satu kampung di Betawi pengembara yang juga pedagang obat-obatan tersebut pun menetap. Selain jago dalam meracik obat-obatan, ia juga ahli dalam berolah silat. Di daerah tempat ia menetap, Kwe Tang Kiam menurunkan ilmu silatnya kepada orang-orang yang tinggal di sekitar.
Kehebatan ilmu silat Kwe Tang Kiam diakui masyarakat Betawi saat itu. Silat yang diajarkannya menggunakan jurus-jurus ampuh mirip aliran Shaolin yang memadukan unsur tenaga, kekuatan fisik dan kecepatan. Hal ini sangat berbeda dengan aliran silat Betawi yang lebih menonjolkan ilmu kebatinan.
Walau demikian Kwe Tang Kiam mengakui kehebatan ilmu kebatinan silat Betawi setelah mencoba keampuhan ilmu salah seorang jawara Betawi bernama Bil Ali.Terbukti, ilmu kanuragan beraliran putih yang dimiliki Bil Ali berhasil menundukkan Kwe Tang Kiam. Hingga akhir hayatnya Kwe Tang Kiam menetap di kampung ini dan dengan kesadaran sendiri ia kemudian memeluk agama Islam. Kampung tempat ia menetap pun kemudian menjadi desa kampung Kwitang, yang masuk dalam wilayah Jakarta Pusat.
Satu abad lalu, kampung ini masih dilalui getek-getek dari bambu yang melintas di Sungai Ciliwung—tempat warga melakukan hajat, seperti mencuci, mandi, berwudhu, dan buang air besar. Kala itu, letak rumah-rumah lebih tinggi dari sungai, hingga bila Ciliwung meluap, daerah itu tidak sampai menimbulkan banjir.
Di ujung Jalan Kembang VIII, terdapat rumah tempat seniman legendaris, Ismail Marzuki-pencipta lebih 200 lagu-dilahirkan. Rumahnya kini ditempati seorang Tionghoa. Tapi, beberapa keluarga Ismail Marzuki i masih tinggal di Kwitang. Di Kwitang pula, pernah tinggal Mantan Menteri Agama, Tarmizi Taher. Tokoh Masyumi, Mr Muhamad Roem, sempat tertembak tangan kanannya oleh Belanda (NICA) sewaktu bergrilya di Kwitang semasa revolusi fisik. Di kampung ini juga pernah tinggal Trisno Djuana, penulis dan penerjun terkenal 1970-an.
Selain tokoh-tokoh di atas, beberapa seniman yang sering main di Kwitang adalah Ajip Rosyidi, Misbach Yusa Biran, dan Arifin C. Noer, SM Ardan. Para seniman Senen ini kerap berkumpul di warung kopi 'Bang Amat', dekat kediaman Habib Ali Kwitang. Kampung Kwitang terkenal dengan cerita Nyai Dasima, seorang nyai dari Parung, Bogor, yang dijadikan istri piaraan oleh Meener Willem. Dasima tinggal di Kwitang setelah menikah dengan Samiun, tukang sado, setelah diingatkan wanita Muslim bahwa kawin tanpa dinikah hukumnya haram. Letak rumah Samiun sekarang berada di Jalan Kembang I. Di dekatnya terdapat Gang Mendung (Kini Jalan Kembang V), tempat tinggal Bang Puase, jagoan Kwitang yang membunuh Nyai Dasima atas suruhan istri pertama Samiun yang bernama Hayati.
Tiap Ahad pagi, ribuan orang menghadiri Majelis Taklim Habib Ali, guru para ulama Betawi, yang lahir 20 April 1870 dan wafat September 1968. Majelis taklim ini telah berusia lebih dari 80 tahun. Ibu Habib Ali bernama Nyi Salkmah, puteri seorang ulama Betawi dari Meester Cornelis (Jatinegara). Ayahnya bernama Habib Abdurahman Alhabsyi, yang meninggal sejak Habib Ali berusia sepuluh tahun. Ia dimakamkan di Jalan Cikini Kecil 14 A, Jakarta Pusat. Ayah Habib Ali adalah kerabat dari pelukis terkenal Raden Saleh (1816-1880). Karena itu, makamnya berdekatan dengan Taman Ismail Marzuki, yang ketika itu merupakan bagian dari kediaman Raden Saleh.
Sayang sekali, Pemda DKI tak memiliki visi-misi budaya yang jelas terkait soal wisata kampung tua. Itu berkenaan dengan rencana digusurnya makam Habib Abdurahman bin Abdullah Alhabsyi, ayah Habib Ali, guna pembangunan apartemen 32 lantai. Padahal, makam itu sudah ada sejak 1881, dan dikenal dengan Habib Cikini. Bagi Anda yang sudah malang-melintang di kampung ini ujung ke ujung, niscaya bisa mendalami apa pentingnya sejarah bagi kita. Bukan hanya sekadar memorabilia masa lalu, tapi juga sebagai upaya penghormatan atas apa yang telah dilakukan para pendahulu kita semasa hidup mereka, yang kemudian kita warisi sebagai kenangan. (raz)
http://www.finroll.com/baca/350/Wisata-Sejarah-di-Kampung-Kwitang
-------------------------------------------------------------------------------------------------





 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan