Kamis, 05 Januari 2012

Pendidikan Karakter Bangsa

Di masa pergerakan nasional, Soekarno muda pernah membuat sebuah konsepsi perjuangan berlabel “self-help” yang dimaknai sebagai sebuah sikap kemandirian bangsa yang tidak mudah tergantung dari bangsa-bangsa asing. Konsepsi sebagai bangsa yang mandiri ini ia ulangi lagi di tahun 1960-an ketika ia mengumandangkan sebuah jargon berlabel “berdikari”, berdiri di atas kaki sendiri, yang juga memiliki makna yang sama dengan konsepsi sebelumnya. Lantas, Soekarno membandingkannya dengan gerakan Swadesi Gandhi yang mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri untuk melawan penindasan kolonial Inggris. Gerakan Swadesi India inilah yang menginspirasi Soekarno bahwa kemandirian bangsa harus dibangun melalui kerja keras, sebagaimana ia lukiskan sebagai kerja kerasnya bangsa Jepang yang bisa bangkit dari hancur leburnya negara mereka pasca Perang Dunia Kedua. Kemandirian dan kerja keras inilah yang nantinya menjelma menjadi sebuah martabat, yang bisa menumbuhkan kebanggan kita sebagai sebuah bangsa, terhormat berdiri di hadapan bangsa-bangsa lain.
Masih menurut Soekarno, dalam bukunya Di bawah Bendera Revolusi, karakter bangsa yang nantinya terbentuk adalah bangsa yang tidak ngak ngik ngok, yang tidak memiliki jati diri, terombang-ambing oleh sebuah kultur dunia yang menghegemoni, tidak menjadi bangsa tempe yang lemah tak berdaya dihadapan negara-negara besar.
Inilah sekelumit gagasan seorang Soekarno tentang model karakter bangsa Indonesia. Sayangnya, gagasan cerdas tersebut tidak memiliki fondasi dan konstruksi yang kokoh secara sosio-kultural. Problem kultur negara pasca kolonial yang cenderung bersifat xenophobia, gandrung terhadap budaya luar, mungkin saja menjadi variabel penghambat terwujudnya mimpi Soekarno.
Meskipun ada sisi positif dari karakter bangsa kita yang kita banggakan, semisal keramahan dan kegotongroyongan yang dianut oleh sebagian masyarakat kita, kita juga tidak bisa menafikan,  ada sisi kelam karakter bangsa yang menyeruak ke permukaan. Akhir-akhir ini, gejala disorientasi nilai-nilai, semisal pragmatisme, kepentingan individualistik yang dominan, dan perilaku korup segelintir elit menjadi menu sehari-hari ditayangkan oleh media. Pergeseran nilai-nilai etika pun kian telanjang dipertontonkan melalui media massa dalam bentuk yang lebih massiv. Beredarnya video porno dan produk-produk perfilman yang lebih banyak menjual sensualitas dan kekerasan justru menjadi komoditas industri yang  oleh segelintir pihak dianggap menguntungkan. Tayangan sinetron yang menembus sekat-sekat kelas yang mempertontonkan keculasan, kecurangan, kelicikan yang seringkali ditampilkan secara dominan dan terus menerus berimplikasi pada terkooptasinya pemikiran khalayak. Belum lagi, ada sisi kemewahan yang dipertontonkan  dan mempertunjukkan kepongahan dan kesombongan terhadap pihak yang lemah, miskin, dan tak berdaya dalam sinetron tersebut. Sehingga, tampilan dari tayangan sinetron itu pun seakan mengusik sensitivitas publik terhadap potret segregasi sosial yang semakin kentara. Bukan tidak mungkin, realitas media ini berimplikasi pada perilaku deviasi masyarakat.
Belum lagi, memudarnya jati diri bangsa karena serbuan budaya kapitalistik hedonistis yang semakin membuat kita menjadi bangsa yang tak percaya diri. Konsekuensinya, ketidakpercayaan diri inilah yang membuat kita menjadi bangsa yang lebih banyak tergantung dari bangsa lain, gandrung akan produk yang berlabel asing, konsumeristik, dan akhirnya menjadi bangsa yang menurut Soekarno disebut sebagai ngak ngik ngok tadi.
Keterusikan publik pun semakin terakumulasi ketika nilai-nilai kerukunan yang senantiasa dideklarasikan sebagai salah satu nilai luhur bangsa Indonesia, justru mengalami degradasi ketika konflik horizontal berbasis politik atau pun yang cenderung berbau SARA menjadi menu informasi di media.
Seakan tersadar akan potret buram wajah karakter bangsa akhir-akhir ini, pembuat kebijakan negeri ini pun melakukan selebrasi pencitraan dengan menggaungkan kembali perlunya membangun karakter bangsa. Tak kurang, Presiden SBY pun menempatkan pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa sebagai tema dalam peringatan hari pendidikan nasional tahun 2010 lalu. Kementerian terkait, semisal Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudbar) pun ramai-ramai berusaha menterjemahkan konsepsi pendidikan karakter dari SBY tersebut dalam sebuah formula kebijakan bertajuk Pembangunan Karakter Bangsa. Kementerian Pendidikan Nasional sebagai institusi terdepan dalam mendesain pendidikan karakter ini lantas membuat desain induk kebijakan tersebut. Kemdiknas, kemudian mencirikan bangsa yang berkarakter sebagai bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral,, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, dan berorientasi IPTEK yang dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kemenbudpar pun tak ingin disebut ketinggalan dalam membuat formula kebijakan sejenis ini. Sebagai institusi penopang kebudayaan nasional, dan dalam kerangka pembangunan karakter bangsa, Kementerian ini pun mencanangkan 7 pokok pembangunan karakter bangsa yang meliputi sikap-sikap bangga sebagai bangsa Indonesia, bersatu dan bergotong royong, menghargai kemajemukan, mencintai perdamaian, pantang menyerah dan mengejar prestasi, demokratis dan berfikir positif.
Kementerian Agama yang disebut-disebut sebagai institusi pengawal nilai-nilai agamis pun mencoba mempertunjukkan kepeduliannya dengan pula mendesain konsep pendidikan karakter ini. Tak tanggung-tanggung, kementerian ini mencanangkan 34 perilaku berkarakter yang diharapkan terbentuk dari pendidikan karakter bangsa ini, misalnya agamis, jujur, amanah, terpercaya, sabar, tabah, keteladanan, ramah, santun, taat, dan sebagainya.
Tak pelak, desain dan arah kebijakan ini jelas memerlukan keterpaduan yang bersifat interseksi dan konsolidasi. Dalam interseksi kebijakan, berbagai instansi tersebut perlu membuat rumusan arah dan desain kebijakan yang bersinggungan satu sama lain. Perlu dibuat sebuah formula yang mengarah pada satu kata kunci tujuan dari model pembangunan karakter bangsa ini. Jika kita mengenal bangsa Jepang sebagai bangsa yang berdisiplin tinggi dengan kultur samurainya, seharusnya, kita juga perlu mendefinisikan sebuah karakter yang khas bangsa Indonesia.
Oleh karenanya, diperlukan konsolidasi kebijakan yang bersifat vertikal yang bisa menaungi ragam kebijakan tersebut sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Misalnya, bagaimana Kemdiknas dan Kemenag menyusun sebuah skenario dalam kurikulum yang terpadu, sehingga tergambar ada interseksi atau cross cutting  arah dan garis kebijakannya. Namun, di sisi lain, peran pengatur lalu lintas kebijakan tetap diperlukan agar tidak terjadi benturan kepentingan.
Membaca kondisi sosio-kultural
Kesemua konsep dan desain kebijakan itu memang masih sangat normatif. Semuanya berorientasi pada pencapaian nilai-nilai yang masih bersifat abstrak dan ideal. Sejatinya, sebuah kebijakan harus didukung pula oleh strategi implementasi dan pembacaan serta analisis terhadap realitas sosio-kultural dan historis yang mengitarinya. Karena, bisa jadi, pembacaan yang tidak tepat terhadap realitas sosio kultural justru akan menjadi faktor penghambat pencapaian tujuan kebijakan. Ada beberapa kondisi sosio-kultural yang perlu dibaca secara cermat.
Pertama, dalam episode perjalanan sejarah bangsa ini, konsekuensi dari negara warisan kolonial tentu saja menimbulkan sisa-sisa perilaku ketidakberdayaan dan ketidakmandirian. Rekam jejak inilah yang perlu dielaborasi untuk mengeliminasi nilai-nilai yang nantinya bisa menghambat pembentukkan karakter yang diharapkan.
Kedua, kultur budaya yang mendominasi juga turut berpengaruh terhadap pencapaian kesukseksan kebijakan ini. Kultur budaya feodal yang lebih mengedepankan pada hubungan patriarki konservatif, senioritas, bapakisme,  masih menggejala dalam banyak strata di masyarakat. Mungkin, di satu sisi, kultur budaya ini akan mempertahankan nilai-nilai harmonis hubungan patron-client dan  penghormatan terhadap orang tua. Akan tetapi, di sisi lain, sikap konservativisme yang berlebihan justru akan berkontribusi terhadap kemandulan daya kritis dan inovasi masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan. Konservatisme berlebihan inilah nantinya yang dapat berakibat cultural lag (ketertinggalan budaya) karena tidak bisa beradaptasi secara tepat dalam lingkungan yang berubah.
Ketiga, lingkungan geografis bangsa Indonesia yang beragam harus pula dilihat, apakah sebagai faktor yang menguntungkan atau merugikan. Secara sosiologis, lingkungan fisik suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap perilaku dan budaya yang beragam dan majemuk. Keragaman dan kemajemukan budaya masyarakatnya inilah yang berpotensi menimbulkan sikap primordialisme yang bisa berwujud etnosentrisme.
Keempat, struktur sosial masyarakat yang sangat beragam dan komplek, juga harus diperhitungkan sebagai faktor yang dapat mengeliminasi pembentukkan karakter bangsa. Stratifikasi dan diferensiasi sosial masyarakat, baik secara sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik mempengaruhi cara pandang, penerimaan, dan persepsi masyarakat terhadap esensi karakter bangsa. Misalnya, masyarakat di pedesaan yang umumnya tradisional, tentu berbeda dalam memandang sebuah tata nilai yang dianut, jika dibandingkan dengan sikap rasional masyarakat perkotaan.
Di luar empat faktor yang perlu diperhatikan di atas, kebijakan ini tentu harus bersinergi pula dengan media massa sebagai salah satu unsur pembentuk dan pembangun nilai-nilai berkarakter. Karena, kita meyakini bahwa media sangat besar pengaruhnya dalam menyampaikan pesan membentuk perilaku masyarakat. Sepanjang kebijakan penayangan konten atau pesan yang disampaikan tidak bersinergi dan tidak kondusif untuk membentuk karakter bangsa, selama itu pula upaya pembangunan karakter bangsa seperti yang diharapkan tersebut, akan terus menjadi selebrasi semu yang tak berkesudahan. (Widiarto // DPR RI, Komisi X)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan